Belakangan
hari kita menyaksikan bagaimana puisi di Indonesia mendapatkan nasibnya
yang paling getir. Bukan hanya penerbit menolak penerbitan buku
kumpulan atau antologi puisi, penerbitannya pun harus dihadapkan pada
kenyataan bahwa laju penjualannya yang bahkan tidak mencapai target
minimal untuk impas.
Beronggok
puisi mungkin mengisi laci, file, atau benak para penyair
dan—mungkin—meja redaksi majalah atau surat kabar. Sebuah keadaan yang
mungkin membuat seorang redaktur surat kabar memberi alasan, ”Kini lebih
banyak penyair ketimbang pembacanya,” sebagai apologia hilangnya rubrik
puisi yang sudah puluhan tahun bertahan di media itu.
Kini
beberapa media yang sebelumnya dikenal komitmen dan perhatiannya kepada
kesenian menghapus rubrik itu. Dan bukan hanya penerbit yang
meninggalkan puisi secara definitif, beberapa toko buku juga sudah tidak
lagi memajang buku puisi sejak beberapa tahun lalu.
Apa
sebenarnya yang terjadi? Apa yang mendorong terjadinya nasib getir
puisi itu? Apa dampaknya dalam kehidupan kolektif, sebagai manusia
sebagai sebuah bangsa?
Puisi dalam sejarah
Sejarah
manusia ditandai dengan jelas oleh riwayat perjuangan hidup beradabnya
bersama puisi. Sel-sel majas sebuah puisi, baik konotatif maupun
denotatif, kerap menyulut api perubahan dan menjadi semacam lampu ajaib
yang sanggup menerangi kelamnya politik. Tak mengherankan jika John F
Kennedy teringat puisi pada hari pelantikannya sebagai Presiden Amerika
Serikat.
Bahkan
ia mengundang Robert Frost, penyair ternama Amerika Serikat pertengahan
abad 20, untuk membacakan puisi di depannya. Sebuah penampilan yang
akhirnya menginspirasi Presiden baru itu menciptakan ungkapan, ”Jika
politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya.”
Mungkin
karena alasan itu pula kenapa puisi Gilgamesh diguratkan dengan huruf
paku pada bongkahan lempung dalam bahasa Sumeria di Mesopotamia sekitar
5.000 tahun yang lalu.
Selain
Gilgamesh, ada juga syair-syair purba, seperti Kidung Agung, Ayub,
Mazmur, Amsal, serta syair-syair mitologi Yunani. Hal itu terdapat
seperti dalam Iliad dan Odyssey karya Homerus, kitab-kitab puisi
kebijaksanaan Tao dan Konfusius, La Galigo suku Bugis, atau tradisi
sastra lokal lainnya, seperti pantun, gurindam, seloka, semuanya
disajikan dalam syair-syair indah.
Bahkan
dalam masa jahiliahnya, peradaban Arab telah menempatkan puisi dan
penyair dalam posisi tertinggi secara sosial. Pengaruhnya melebihi ketua
suku, bangsawan, dan saudagar kaya.
Dalam
perkembangan mutakhir Arab, tak akan terlupakan penyair besar Irak,
Nâzik Malaikah. Bagi rakyat Irak, Nâzik dianggap sebagai salah satu
pahlawan revolusi yang memperlancar jalannya kudeta Rasyid al-Kilani.
Di
Nusantara, puisi-puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16
dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi transendental masa kini. Adapun
puisi-puisi karya Chairil Anwar, misalnya, turut membakar semangat
kebangsaan dan kemerdekaan. Bagaimana pula kita menafikan puisi-puisi WS Rendra dalam mendorong perubahan politik di negeri ini?
Keprihatinan nasib puisi
Puisi-puisi
yang tercatat dalam tinta emas sejarah, menurut Adonis—kritikus sastra
Arab Modern—tidaklah lahir dari kekosongan budaya, dan canggihnya
akrobatik bahasa. Namun, puisi-puisi itu langsung berhubungan dengan
proses membangun makna hidup dalam konteks sosial, baik dalam ruang
temporal maupun perenial.
Di
sini sensualiasme (akrobatik) kata berposisi sekadar sebagai pemantik
(aksesori) bukan sebagai tujuan. Karena itu, ia bisa melampaui batas
identitas dan merebut hati masyarakat.
Akan
tetapi, sebagaimana yang disinggung di atas, betapa memprihatinkan
nasib puisi sekarang ini. Siapa yang harus bertanggung jawab? Yang
pertama, saya kira adalah para penyair sendiri. Bukankah tingkat
apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah
puisi? Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak
akan telantar.
Kenyataannya,
puisi-puisi mutakhir kita justru jadi semakin ”elite” dan eksklusif.
Bahasa dan diksinya semakin njelimet, sukar dipahami.
Mereka
sepertinya terjebak dalam romantisisme atau labirin lirisisme klasik
yang terpaku pada keindahan dan tema-tema ”abadi” yang kehilangan
konteks kekiniannya. Akibatnya, mereka terasing dari peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi tak jauh kakinya berpijak. Peristiwa memilukan,
suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai
mikrofon dari suara hati mereka.
Apakah
ini berarti diagungkannya kembali posisi puisi sebagai l’art pour
l’art, seni hanya untuk seni sendiri? Puisi yang hanya berlaku pada
mereka yang hidup di dalamnya, semacam pemeo ”yang bukan penyair tidak
ambil bagian”. Sebuah ironi, yang tampak mirip dengan gambaran karya
Yunani, Tuhan yang Tak Dikenal (Kis. 17:23). Kita tahu bahwa Ia ada,
tetapi karena terasa jauh dan sukar dipahami, maka ”pengetahuan”
atas-Nya pun menjadi milik segelintir orang saja.
Haruskah puisi kini jadi alien bagi kita? Mari kita menjawabnya.
Aguk Irawan MN,
Pemimpin Redaksi Jurnal Budaya Kalimah, Yogyakarta
Source : Kompas, Sabtu, 5 September 2009 | 03:21 WIB
*** salam kegilaan dan tengat berkarya ***