Menerbitkan buku sendiri secara indie atau biasa disebut dengan “self publishing”
nampaknya mulai mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Banyak
penulis yang memilih menerbitkan bukunya sendiri, dan tidak
menyerahkannya ke penerbit besar yang sudah mapan. Alasannya, antara
lain, dengan menerbitkan buku sendiri, seorang penulis bisa terlibat
secara penuh terhadap proses penerbitan bukunya, mulai dari layout,
pembuatan desain cover, bahkan sampai pencetakan dan pendistribusiannya.
Hal ini bisa menambah kepuasan jiwa dibanding bila bukunya diterbitkan
oleh penerbit lain.
Di samping itu, alasan lainnya, margin keuntungan yang diperoleh juga
jauh lebih besar dibanding ketika bukunya diterbitkan penerbit lain.
Jikalau diterbitkan penerbit lain, paling-paling ia hanya memperoleh 10%
dari harga jual bukunya (itupun masih dikurangi pajak 15%). Akan tetapi
bila diterbitkan sendiri, ia akan mendapatkan seluruh laba dari penjualan bukunya.
Banyak penulis yang memilih jalan ini, yaitu menerbitkan bukunya
sendiri. Yudi Pramuko adalah contoh penulis yang memilih menerbitkan
bukunya sendiri. Penulis yang banyak menelorkan karya cemerlang itu,
memulai mendirikan wirausaha penerbitan buku Taj Mahal pada akhir tahun 2003 dengan karya perdananya “Rahasia Sukses Dakwah dan Bisnis Aa Gym).
Tak sekedar menerbitkan bukunya sendiri, Yudi Pramuko juga terlibat
aktif untuk mendorong lahirnya banyak penerbitan mandiri
(selfpublishing). Sampai sekarang mungkin sudah ratusan penulis yang
berhasil mendirikan penerbitan sendiri berkat motivasi penulis yang
pernah meraih penghargaan ADIKARYA IKAPI terbaik kedua kategori sastra
anak itu.
Bahkan dalam bukunya “Rapor Merah Jaringan Islam Liberal, Hartono Ahmd Jaiz Dkk…”
dengan tegas Yudi Pramuko menulis, “Apakah Anda ingin jadi pengarang
yang kaya raya dan banyak uang? Jika jawabannya ya, maka jalannya adalah
mendirikan dan mengelola penerbitan sendiri.”
“Katakanlah, mengarang adalah proyek idealis. Sedang, penerbitan
adalah proyek bisnis. Maka gabungkan saja keduanya, mengarang dan
penerbitan. Otomatis Anda menjadi pengarang yang banyak uang,” tulis
Yudi Pramuko lebih lanjut.
Tak sekedar omdo alias omong doang, Yudi
Pramuko telah membuktikan diri sebagai penulis yang sukses mendirikan
wirausaha penerbitan buku. Sebagaimana ditulis dalam bukunya, ia
menyebutkan banyak hal positif yang diperolehnya setelah menerbitkan
bukunya sendiri, antara lain: bebas utang, menjadi pemilik penerbitan
sendiri (bussines owner), ilmu bertambah, pergaulan dengan
teman bisnis bertambah, citra diri kian positif, kebebasan menulis
relatif besar (karena tidak kuatir ditolak dan diedit oleh penerbit
lain), kemampuan infaq dan zakat mal bertambah, ibadah qurban
menyembelih kambing dapat terlaksana setiap tahun, dan sebagainya.
Bahkan dengan suara gagah ia menulis, “Marilah berpikir bersamaku
dengan teduh hati. Naskah buku yang sudah jadi, usahakan diterbitkan
sendiri. Menjual naskah ke penerbit lain hanya dilakukan oleh orang
yang menghindari sikap wirausaha. Namun, perlu kuingatkan juga, jalan
wirausaha hanyalah sebuah kemungkinan yang selalu terbuka, dan
menjanjikan. Bukan satu-satunya pilihan hidup yang tersedia.”
“Tidak semua orang tahan hidup sebagai seorang entrepreneur.
Namun, lelaki yang ingin merintis jalan baru, jalan wirausaha, sebaiknya
ia berenang dengan gagah perwira di lautan yang baru dan asing. Jangan
jual naskah ke penerbit lain,“ tulisnya.
Apakah Anda pernah mendengar nama Mujahid Press? Ya, Mujahid Press
adalah nama sebuah penerbit buku-buku Islami di Bandung. Penerbit ini
sempat meroket namanya. Buku-buku yang diterbitkannya sempat merajai
pasar buku. Di antara bukunya yang laris manis antara lain Kudung Gaul Berjilbab Tapi Telanjang, Pacaran Islami Adakah?, Bila Jodoh Tak Kunjung Datang, Muslimah yang Kehilangan Harga Diri, Remaja Korban Mode, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, dan sebagainya.
Tahukah Anda, buku-buku laris bak kacang goreng itu ditulis oleh Abu
Al-Ghifari, yang merupakan nama pena dari Toha Nasrudin, yang tak lain
adalah owner (pemilik) dari penerbit Mujahid Press itu sendiri.
Memang, Toha Nasrudin alias Abu Al-Ghifari merintis penerbitan Mujahid
Press melalui apa yang disebut self publishing.
Mujahid Press dirintis pada tahun 2002 dengan modal minim. Seperti yang dikemukakan Toha Nasrudin dalam e-book-nya berjudul Peta Harta Karun, ia mendirikan Mujahid Press dengan pinjaman modal satu juta rupiah hasil jual emas istrinya. Emas itu adalah mahar yang diberikan saat menikahi istrinya.
Buku pertama yang diterbitkannya berjudul Muslimah yang Kehilangan Harga Diri.
Buku pertama itu beroplag seribu eksemplar, dengan hanya mengeluarkan
dana kurang dari Rp 1.500.000,-. Toha Nasrudin bisa menekan biaya cetak
sedemikian rupa, karena memang hampir semua proses penerbitan bukunya
dilakukannya sendiri, seperti membeli kertas dan penjilidan.
Buku pertamanya terbilang sukses di pasaran. Cetakan pertamanya ludes
terserap pasar dalam hitungan hanya tiga minggu. Kemudian disusul
cetakan kedua. Begitu seterusnya, sehingga Toha Nasrudin mencetak
buku-buku lainnya, seperti Kudung Gaul Berjilbab Tapi Telanjang, kemudian Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, kemudian Bila Jodoh Tak Kunjung Datang.
Nyaris buku-buku yang diterbitkannya meledak di pasaran. Sehingga
menjadikan Mujahid Press melesat bak meteor. Kurang dari tiga tahun
sejak resmi berdiri januari 2002, omzet yang dihasilkan mencapai lebih
dari lima milyar rupiah. Dari omset itu, di tempat kelahirannya, Toha
Nasrudin dapat membangun bangunan cukup megah senilai Rp 2 milyar
sebagai tempat tinggal sekaligus kantor utama Mujahid Press, lengkap
dengan gudang dan tempat (sebagian) proses cetak serta sarana olah raga.
Gedung itu dibangun kurang lebih satu tahun setelah Mujahid Press
dikukuhkan badan hukumnya sebagai CV pada September 2003.
Semua capaian itu berawal dari statement seorang penulis kawakan yang didengarnya. Statement itu berbunyi “Penulis Indonesia tak mungkin kaya”. Dalam kesempatan lain ia mendengar, “Penulis harus siap miskin”. Benarkah?
Bertahun-tahun pertanyaan itu membekas di hatinya dan menjadi bahan
pemikirannya. Apalagi realitas menunjukkan, penulis kawakan itu memang
hidup miskin. Telah berkiprah di dunia kepenulisan selama 50 tahun,
namun belum mampu membangun rumah sendiri. Hingga usianya yang hampir
kepala tujuh, ia masih saja ngontrak.
Namun, Toha Nasrudin tidak serta merta terbuai dengan statement itu.
Bartahun ia berpikir untuk menumbangkan statement itu. Ia yakin nasib
penulis tidak akan separah itu jika menjalaninya dengan penuh
kreativitas. Dan kini, Toha Nasrudin telah membuktikan, bahwa penulis
itu bisa kaya.
“Penulis insya Allah kaya, bukan sekedar kaya hati, wawasan
dan pengalaman, tapi sejahtera dari segi materi. Menerbitkan karya
sendiri (self publishing) adalah satu-satunya jalan pintas untuk semua itu,” tulis Toha Nasrudin alias Abu Al-Ghifari dalam sebuah e-booknya.
Masih banyak sebenarnya kisah-kisah sukses penulis yang melakukan
self publishing. Namun cukuplah dua kisah saja saya hadirkan, guna
memberikan spirit dan suntikan motivasi bagi Anda untuk BERANI
menerbitkan buku sendiri. Pertanyaan yang menyeruak di benak Anda
barangkali adalah, sebenarnya apakah yang dimaksud self publishing itu? Dan bagaimana melakukannya?
Inti dari self publishing sebenarnya adalah menerbitkan karya kita
sendiri, tidak menyerahkannya ke penerbit lain untuk diterbitkan mereka.
Dengan demikian, kitalah yang menjadi penerbit bagi karya kita sendiri.
Untuk lebih memudahkan pemahaman, mungkin bisa meminjam penjelasan yang
disampaikan oleh Jonru, seorang writerpreneur, dalam e-book-nya yang berjudul Menerbitkan Buku Itu Gampang.
Jonru menulis, “menerbitkan sendiri” (self publishing)
sebenarnya tak ubahnya seperti seorang ibu rumah tangga yang berbisnis
kue. Ia mencari sendiri bahan-bahannya ke pasar, mulai dari tepung
terigu, telur, minyak goreng, dan sebagainya. Lalu, ia pulang ke rumah
dan mengolah bahan-bahan itu menjadi kue yang lezat cita rasanya.
Setelah jadi, kue-kue itu dikemas semenarik mungkin, lalu ia
distribusikan ke sejumlah toko di dekat rumahnya. Esoknya, ia mendatangi
toko-toko itu satu per satu untuk menagih uang hasil penjualan.
Menurut Jonru, self publishing sama dengan do it yourself.
Semua Anda kerjakan sendiri, mulai dari menulis buku, mengeditnya,
mendesain tampilannya, mencetaknya, mendistribusikannya, hingga
mempromosikannya. Anda adalah penulis merangkap editor, merangkap
penerbit, merangkap desainer, merangkap distributor, merangkap staf
marketing dan promosi. [halaman 74].
Pada praktiknya, Anda tidak harus melakukan semua deretan pekerjaan itu. Karena toh
Anda mungkin tidak bisa melay-out isi buku, apalagi membuat desain
sampul buku yang menawan. Anda pun tidak memiliki mesin cetak dan mesin
wrapping untuk mengemas buku. Untuk itu, Anda bisa menyewa orang atau
meminta lembaga yang melayani jasa penerbitan buku.
Tugas Anda hanya menulis naskah dan mengeditnya serapi mungkin untuk siap diterbitkan, kemudian pihak lembaga jasa yang akan melay-out naskah Anda, membuatkan desain sampul yang menarik, mengurus ISBN (International Standard Book Number), kemudian mencetaknya, dan mengemasnya menjadi buku siap jual. Anda tinggal menyiapkan biayanya.
Kemudian kalau Anda masih buta terhadap cara mendistribusikan buku ke
toko-toko buku besar seperti Gramedia, Anda juga bisa sekaligus meminta
bantuan lembaga jasa itu. Pertanyaan yang mungkin ada di benak Anda,
berapa perkiraan dana yang harus dipersiapkan untuk menerbitkan sebuah
buku dan menyewa lembaga jasa? Mahalkah?
Insya Allah hal itu akan dibahas di pembahasan selanjutnya. Sekarang, kita cukupi sekian dulu pembahasan “Engkau Bisa Menerbitkan Buku Sendiri”. Simak catatan-catatan kami selanjutnya. Semoga bermanfaat!
Sumber : [Badiatul Muchlisin Asti]