(Kajian Hipotesis Benyamin Whorf dan
Edward Sapir). “ To give a child an idea of scarlet or orange, of sweet
or bitter, I present the objects, or in other words, convey to him these
impressions; but proceed not so absurdly, as to endeavor to produce the
impressions by exciting the ideas.” (David Hume)
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998).
Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono, 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Hubungan antara bahasa dan pikiran
adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah
kajian ini dapat ditilik dari psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik.
Hipotesis Whorf dan Sapir menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk
ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu
diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang
mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan aspek bahasa yang
mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning about other minds).
Selintas Konsep Saphir-Whorf tentang
Bahasa dan Pikiran
When I think in language, there aren’t
‘meanings’ going through my mind in addition to the verbal expressions: the
language is itself the vehicle of thought.” - Ludwig
Wittgenstein
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk
hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana
bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan
antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan
Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti
hubungan bahasa dan pikiran.
Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak
ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas
sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan
antara bahasa dan pikiran.
1. Hipotesis pertama adalah lingusitic
relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara
umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive).
Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa
tersebut.
2. Hipotesis kedua adalah linguistics
determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu
mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi
manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat
terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya
gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of
individual languages heavily constrain the conceptual representations available
to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu
representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain
habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep
Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi
manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan
oleh Whorf berikut ini :
“Kita membelah alam dengan garis yang
dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia
fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh
majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah
kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan
ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam,
mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting…(Whorf
dalam Chandler, 2000).
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas
sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses
sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia
kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh
simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada
dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat
tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan
tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa
pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa
berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu
menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang
dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda
memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999).
*** TENGAT ***