Fiksi mini sesungguhnya punya jejak sejarah yang panjang. Fabel-fabel pendek yang ditulis Aesop (620-560 SM), adalah sebuah “kisah mini”
yang penuh suspens dalam kependekannya. Kita bisa melihat pula
kisah-kisah sufi dari Timur Tengah, yang turunannya populer sampai
sekarang dalam bentuk anekdot-anekdot semacam Narsuddin Hoja atau
Abunawas. Kisah-kisah kebajikan Zen di Tiongkok, yang bahkan seringkali
lebih menggugah ketimbang cerita panjang yang bertele-tele.
Di perancis, fiksi mini dikenal dengan nama nouvelles. Orang Jepang menyebut kisah-kisah mungil itu dengan nama “cerita setelapak tangan”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “cerita kartu pos” (postcard fiction), karena cerita itu juga cukup bila ditulis dalam kartu pos. Di Amerika, ia juga sering disebut fiksi kilat (flash fiction), dan ada yang menyebutnya sebagai sudden fiction atau micro fiction. Bahkan, seperti diperkenalkan Sean Borgstrom, kita bisa menyebutnya sebagai nanofiction.
Ada
yang mencoba memberi batasan fiksi mini itu melalui jumlah katanya.
Misalkan, sebuah karya bisa disebut fiksi mini bila ia terbentuk dari
tak lebih 50 kata. Ada yang lebih longgar lagi, sampai sekitar 100
kata.
***
“Cerita fiksi itu cuma 6 kata. Selebihnya imajinasi.” — (Ernest Hemingway)
Kalimat
provokatif Hemingway inilah yang disebut-sebut sebagai “cikal bakal”
lahirnya fiksi mini di dunia. Fiksi tidak memerlukan kalimat-kalimat
panjang. Fiksi sejatinya mampu hadir dalam enam kata sederhana yang
membentuk satu ide istimewa. Lupakan tentang aksesoris dan ornamen
yang tidak berkontribusi memajukan cerita, dan voila!, karya fiksi pun hadir di depan mata.
Di tahun 1920, Hemingway pernah menulis novel lengkap dan hebat hanya dengan enam kata. For sale : baby shoes, never worn. Sangat
singkat, padat, dan menyisakan sesuatu “menggantung” yang harus
diselesaikan oleh imajinasi pembaca, bukan tuturan penulisnya. Bahkan
berabad-abad sebelum Hemingway lahir, Gaius Julius Caesar telah lebih
dahulu menulis sebuah fiksi pendek. I came, I saw, I Conquered.
Sejarah kemudian menyebarkan tulisan ini lewat budaya lisan ke
seluruh dunia dan mengabadikannya sebagai salah satu karya literer
terpopuler yang dikenal dengan pameo Vini, Vidi, Vici.
Pertanyaan sederhana yang hadir kemudian adalah : apakah layak tulisan 6 kata ini disebut sebagai sebuah fiksi?
Secara kittah,
fiksi tidak pernah dibatasi dalam jumlah kata dan karakter huruf yang
menyusunnya. Sepanjang sebuah tulisan merupakan satu karangan utuh
yang mampu membawa gagasan yang jelas dan lugas, maka tulisan tersebut
layak disebut sebagai fiksi. Pengertian fiksi semacam ini tampaknya
bertentangan dengan logika awam yang terlanjur ada di masyarakat.
Fiksi seringkali dipahami secara sederhana sebagai karya-karya
tradisional berbentuk cerita pendek, bahkan novel.
Pertanyaan selanjutnya adalah : mengapa cerita pendek di media massa dibatasi dengan jumlah karakter tertentu?
Pada
dasarnya, kategorisasi yang menyebutkan jumlah kata pada tulisan
fiksi merupakan produk dari industri penerbitan. Industri literasi
inilah yang membuat “patokan umum” bahwa tulisan dengan panjang
1000-7500 kata disebut sebagai cerita pendek, 7.500-20.000 kata disebut
sebagai novelet, sedangkan 50.000-110.000 kata layak disebut sebagai
novel.
Kekeliruan ini diperparah dengan sistem pembelajaran di
sekolah yang mengajarkan bahwa sebuah cerita disebut lengkap jika ia
memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Bahkan cerita disebut utuh
bila ia memiliki plot, karakter tokoh, setting, konflik (klimaks), dan
antiklimaks yang ditulis dalam kalimat-kalimat panjang. Padahal
sebuah tulisan untuk disebut sebagai fiksi tidak memerlukan
persyaratan seperti itu. Terlebih jika mengutip rumus menulis fiksi
versi Hemingway : selebihnya hanya imajinasi!
Ketika
rumus menulis fiksi Hemingway ini dipahami oleh masyarakat, maka tidak
mengherankan jika fiksi mini kini tengah ramai ditulis oleh banyak
orang di dunia maya. Sejarah penerbitan yang tidak lagi berpihak pada
fiksi mahzhab Hemingway pun menemui keruntuhan
kedigdayaannya. Fiksi mini bangun dari tidurnya dan mendapat tempat
apresiasi yang layak di sebuah fitur microblog bernama Twitter.
Keterbatasan karakter dalam aktivitas blogging inilah yang justru para tweeple yang
giat menulis fiksi mini untuk memadatkan sebuah ide cerita. Sebuah
ramuan unsur drama yang efektif dan penuh dengan ledakan mengesankan
tetap mampu disajikan dalam keterbatasan kuota karakter. Bahkan sebuah
akun bernama @fiksimini khusus menayangkan tema fiksi mini yang akan
di retweet oleh para follower. Para tweeps ini kemudian ada yang berlomba-lomba mengicaukan karya-karya fiksi mini mereka di twitosphere dalam pesan 140 karakter itu. Pembaca-pembaca fiksi mini di situs microblogging ini menemui keasyikan tersendiri saat menikamati kesingkatan, suspense, dan
estetika dalam fiksi mini. Keterbatasan karakter tidak berarti
membuat fiksi mini kehilangan makna, bahkan bacaan sekejap itu mampu
menimbulkan kesan mendalam dan lama sama seperti karya cerpen dan novel.
Dalam ranah fiksi mini di Indonesia, meledaknya tren penulisan fiksi mini di situs microblogging tidak bisa dilepaskan dari nama Agus Noor, seorang sastrawan dari Yogyakarta. Agus, bersama Eka Kurniawan dan Clara Ng, kini menjadi moderator yang mengatur lalu lintas cerita dari para pengirim.
Fiksi
mini kini muncul sebagai alternatif menulis bagi para penulis pemula.
Fiksi mini bukan hanya milik sastrawan, novelis, dan cerpenis.
Fiksi mini telah menjadi milik semua orang, tanpa memperhatikan jenis
pekerjaan, latar belakang sosial, status, bahkan umur. Fiksi seolah
menjadi semakin dekat di hati masyarakat, ia mampu mendongkrak minat
baca tulis bangsa ini yang konon jauh dari indeks pengembangan sumber
daya manusia negara-negara maju.
Ketika kuantitas fiksi mini
kini kian membanjir setiap hari, maka ladang pekerjaan yang perlu
segera digarap adalah kualitas tulisan itu sendiri. Dari beribu fiksi
mini yang tercipta setiap hari, tentu tidak semua layak disebut
sebagai karya fiksi mini yang layak diapresiasi. Beberapa hanya berupa
kutipan anekdot, atau bahkan cerita datar kehidupan sehari-hari.
Sesederhana apapun sebuah tulisan, ia tetap memerlukan modal. Modal
latihan menulis dan rutinitas membaca. Dan saya rasa tidak ada
salahnya, jika masing-masing penulis fiksi mini tidak merasa puas
dengan hasil karya tulisannya.
Jangan pernah merasa matang
karena kematangan dekat dengan kebusukan. Teruslah merasa ranum dan
belum masak, sehingga proses pembelajaran itu akan terus dilakukan
demi sebuah perbaikan. Perbaikan kualitas fiksi mini Indonesia di masa
depan.
Pada akhirnya, silahkan berkarya dan terus berkarya
agar bangsa kita penuh dengan karya2 luar biasa. Hilangkan definisi dan
batasan pada fiksi mini, yang penting menulislah!
***
Berikut beberapa contoh fiksimini karya Agus Noor
PENJAGA KAMAR MAYAT
Kemarin
ia dipecat. Tadi pagi mati bunuh diri. Malam ini kulihat ia kembali
masuk kerja. Duduk pucat terkantuk-kantuk di dekat pintu kamar mayat.
ULAR SILUMAN
Ular itu mendesis masuk mimpimu. Matanya merah saga, menatapmu. Kau menjerit, dan cepat-cepat menghantam dengan lonjoran besi.
Saat terbangun, kau mendapati ibumu mati terkapar bersimbah darah. Kepalanya pecah.
MALAM SEORANG TUKANG RONDA
Ia
paling suka saat tengah malam. Saat ia berkeliling dan memukul tiang
listrik. Ia suka sekali mendengar bunyi tiang listrik itu. Seperti
mendengar jerit kesunyian.
Entah kenapa, ia merasa gelisah malam
ini. Saat ia memukul tiang listrik, yang terdengar bukan suara
denting. Tapi lengking anjing.
MISTERI LAKI-LAKI YANG TAK KEMBALI
Perempuan
itu menunggu suaminya pulang. Sejak sore ia sudah berdandan. Sekarang
hari ulang tahun perkawinan mereka, dan ia ingin terlihat cantik saat
laki-laki yang dicintainya itu datang.
Tapi hingga larut malam, suaminya tak juga pulang. Ia mulai terkantuk-kantuk dan bosan.
Mendadak
terdengar kunci pintu dibuka pelan. Ia tergeragap dan bangkit. Tapi
tak ada siapa-siapa. Sejak itulah suaminya tak pernah kembali.
MAYAT TANPA KEPALA
Aku ditemukan mati tanpa kepala. Malam-malam aku mendatangi rumahmu. “Boleh kupinjam kepalamu?” kataku. Kau tampak terkesiap.
Pagi harinya, kau ditemukan tergeletak tanpa kepala.
PENYANYI DANGDUT YANG MATI DIPERKOSA
Kami,
berlima, merencanakannya lama. Ia kami cegat, dan segera kami seret
ke gudang. Ia cantik dan bahenol, tapi kami tergila-gila pada
suaranya.
“Aku ingin kamu nyanyi lagu Malam Terakhir...” bentakku.
Ia menyanyi dengan serak gemetar, sementara kami terus memperkosanya.
Sejak
itu, setiap malam, saat sendirian di kamar, aku selalu mendengar
suaranya bernyanyi dari arah kamar mandi di antara air yang
menggemericik.
Berikut beberapa contoh fiksimini ala Twitter
ANTAGONIS. Pisau itu terlanjur kutancapkan di dadanya. Kulihat sekelilingku, tak ada sutradara dan lainnya.
ADA BERCAK DARAH DI KASURKU "Oh, biasa, Nduk. Datang bulan itu." Ibu menenangkan. Di ruang depan, pucat Ayah mulai menghilang.
Setelah bebas dari penjara, aku mencoba menjalani hidup normal. Kuhapus kata bunuh dalam tugas merampokku.
WAKUNCAR TERAKHIR. Hampir saja kuterima pinangannya. Kalau saja tak ada nyamuk yang melintas. Oh, lidahnya begitu panjang!
SATU JAHITAN LAGI - Tangisan berhenti.
DENYUT NADI Teratur dan tekanan darah stabil. Hanya aku lupa pernah memilikinya.
Sumber : Twitter, Google dan Wikipedia, Cafe Rusuh
*** salam kegilaan dan TENGAT berkarya ***